My Blog List

Monday, May 23, 2016

#FlashFictionYummyLit - Bittersweet Tiramisu

BITTERSWEET TIRAMISU


Aku berjalan memasuki kafe kopi ini dengan tangan memegang sekotak kue tiramisu, aku segera mengedarkan pandanganku untuk mencari sahabatku. Sahabatku yang sudah hampir seminggu tak kutemui. “Alana.” Aku mendengar suaranya memanggilku, dan aku segera menoleh ke sudut kafe. Aku segera berjalan dengan sedikit cepat sambil tersenyum.

long time no see, Lan.” Kaia bangkit dari duduknya dan memelukku. Aku tersenyum dan segera duduk di bangku yang kosong.

Mataku beralih pada kekasih sahabatku, Seno yang tengah sibuk pada ponselnya. Selain Kaia, ternyata Seno juga menyukai tiramisuku, kata Kaia.

"Sen, disapa dulu Lananya,” perintah Kaia membuat Seno mengalihkan pandangannya dari ponsel dan menatapku. “Hallo, Lan,” ujarnya singkat. Aku tersenyum tipis kemudian kembali menatap Kaia.

“Bagaimana perkembangkan kafe kue-mu, tiramisumu menjadi yang terlaris, ‘kan?” Aku terkekeh pelan mendengar pertanyaan Kaia. Kafe kecilku selalu saja menjadi topik pembahasan kami.

“Tiramisu selalu menjadi yang terbaik, Kai. Dimana ada manis, akan ada sedikit pahit untuk pelengkap,” kataku sambil melirik sedikit pada Seno. Rupanya, kekasih Kaia sejak tahun lalu itu tak pernah tertarik dengan obrolan kami. Sejak Kaia mengenalkan kami, ia tak pernah ramah padaku dihadapan Kaia.

“Kamu selalu mengibaratkan tiramisu sebagai kehidupanmu.” Kaia membuka kotak tiramisuku. “Aku kan tidak memesan tiramisumu, apa aku harus tetap membayar?” Lagi, aku melirik Seno yang kini sedikit melirik padaku.

“Enggak perlu, Kai. Ini sebagai tanda aku merindukanmu.” Kaia tersenyum, dan sekali lagi tangannya terulur dan memelukku. “Aku ke toilet sebentar.”

Dan setelah Kaia meninggalkan aku bersama Seno, aku menyeruput kopi tiramisu yang sudah dipesankan Kaia sebelumnya. Sambil menikmati aroma kopi, aku merasakan sebuah genggaman hangat pada jemariku. Aku mengangkat kepalaku dan menatap Seno dengan kedua alis terangkat.

“Terima kasih untuk tiramisu pesananku. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan hubungan kita pada Kaia.” Aku mengangguk, dan tak menyangka bahwa aku akan menjadi kepahitan dalam hubungan manis Kaia bersama Seno. 

****

299 words.
Flashfiction ini diikutkan dalam giveaway #FlashFictionYummyLit.
Foto dari disini.

Untuk info lebih detail bisa cek kesini

Saturday, December 12, 2015

[SONGFICT] Butuh Kasih Sayang

Sebuah bentuk apresiasi kepada lagu terbaru Felly Young yang berjudul Butuh Kasih Sayang.

Title :
BUTUH KASIH SAYANG
Cast : 
1. Felly Young as Herself
2. Mario Kacang as Himself
3. Cherly Juno, Steffy Ai, Kezia Karamoy as Felly's Friends.
4. Harry Styles as Felly's senior.
5. Christy Chibi as Mario's partner
Genre :
Songfitct, romance, hurt.


        Entahlah sudah hampir beberapa bulan belakangan ini, Mario selalu mengacuhkanku, sikapnya menjadi cuek dan tak peduli padaku. Aku tidak merasa punya salah, kalaupun ada salah, dulu ia selalu mengatakan padaku, membuatku menjadi lebih baik.
        Tetapi entahlah, sejak pekerjaannya menumpuk, Mario sangat cuek dan tidak lagi perhatian padaku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, sambil menatap teman-temanku yang kini sedang duduk dihadapanku bersama para kekasihnya.
        “Mario masih ada kerjaan?” aku mengangguk menanggapi perkataan Rafaell –kekasih Steffy yang juga mengenal baik dengan Mario. Ya, aku dan ketiga temanku ini memang selalu mempertemankan kekasih kami dengan kekasih yang lain dengan baik. Karena bagiku, disaat pacar kita bisa hangout bareng dengan teman itu sangat bahagia dan aku menyukainya.
        “Entahlah. Capek mikirin Mario.” Aku kembali menyeruput frapucinnoku. Mengabaikan tatapan prihatin dari keenam temanku beserta kekasihnya.
        “gue masih bahagia selama ada kalian. Nggak perlu tatap gue kayak gitu.” Akhirnya Cherly menghela nafas lega kemudian berpindah duduk disampingku, bangku yang memang hanya untuk Mario.
        “Lo datang aja ke Kantornya, bawa Kue. Habisin waktu sama dia.” Aku menggeleng kecil. Aku udah pernah mencoba hal ini, dan hasilnya tetap sama. Nihil. Mario tetap cuek dan tak peduli padaku. Dimana letak salahku.
        “Memang sejak kapan Mario menomorduakan elo dibanding pekerjaannya, Fel?” Aku kembali menggeleng mendengar perkataan Kezia. Aku tak ingin memperdalam masalah ini. Lebih tepatnya aku tidak ingin teman-temanku yang sudah bahagia dengan kekasihnya, malah menjadi ikut sedih karena masalahku.
        “Sekarang baru tanggal 5, lho” Aku menatap Rafaell dengan tatapan bingung. “Ya terus?”
        “Kayaknya belum telat deh buat dapetin quality time, merayakan hari jadi kalian.” Aku menghela nafas panjang kemudian menggeleng lagi. Sejak Mario berubah, semua saran yang disampaikan teman-temanku tak pernah ada yang sejalan dengan fikiranku. Yang ada difikiranku, aku langsung menyemprot Mario dengan mulut cerewetku ini, melontarkan rombongan pertanyaan kenapa Mario berubah.
        “Percaya. Kalau lo datang dengan niat baik, semoga Mario bisa menyambut kedatangan lo dengan kebaikan.” Kini aku mencoba menerima perkataan Cherly dengan baik. Aku ingin sekali saja mengikuti saran mereka. Untuk kali ini mereka berbicara serius.
        “Sebentar,” Kezia bangkit dari duduknya ditemani Yudha berjalan menuju kasir. Mengobrol dengan kasirnya dan aku kembali menatap Steffy yang kini merangkul bahuku sambil sesekalinya menepuk pundakku.
        “Apapun yang dia lakukan nanti, jangan terbawa emosi. Ingat, kalian itu sama-sama sayang.”
        “Sayang banget, kalau kalian harus putus.” Steffy melotot pada Cherly yang kini malah cengengesan, membuat aku kembali tersenyum pada tingkah sahabat-sahabatku. Aku pun ikut merangkul bahu mereka dan memeluknya dengan erat.
        “Nih,” dihadapanku sudah ada sekotar cheese cake didalamnya yang memang bagian atasnya sedikit dilapisi plastic bening. Aku mengangkat kepalaku menatap Kezia dan juga Yudha. “Makasih ya,”
        Aku segera bangkit dari dudukku, memeluk kotak kuenya dan berpamitan pada semuanya, sekaligus meminta do’a untuk kelancaranku yang masih bingung harus melakukan apa untuk menarik perhatian Mario.
        Melupakan Mario pada kertas, pulpen, juga rangkaian katanya untuk sekejap saja. Aku ingin Mario ada disisiku, memeluk bahuku saat aku lelah, memberikan sandaran saat aku sedang sedih, dan bisa sama-sama bergandengan dan menghabisi waktu saat kami dalam kesenangan.
***
        Sudah hampir 5 menit aku tiba di halaman parkir label musik yang menjadi kantor Mario, kantor dan pekerjaan Mario yang membuat kekasihku itu melupakanku. Katakan aku bodoh karena menyalahkan pekerjaannya. Namun aku sadar, Mario memang membutuhkan pekerjaan, tetapi apa ia tak bisa memberika seperempat waktunya saja untukku? AKu juga membutuhkannya.
        Aku masih terdiam, memikirkan kalimat apa yang akan aku lontarkan saat aku tiba dihadapannya nanti. Aku mengetukkan jari-jariku pada kepala, memperintahkan otakku untuk membuat rangkaian kata sebagai ucapan maaf karena sudah melupakan hari jadi kami. Aku melupakannya, karena Mario juga tak mengucapkannya. Ya biar saja.
        Bukannya balas dendam, aku hanya ingin Mario merasakan apa yang aku rasakan. Eh, balas dendam ya namanya? Baiklah. Aku ingin balas dendam dengan Mario. Hampir beberapa bulan belakangan, Mario tak pernah mengucapkan terlebih dahulu, selalu aku yang memulai dan dia hanya membalas. Terimakasih. See u soon. Tetapi Mario tak pernah menemuiku dan selalu aku yang mengajaknya secara paksa. Tolong digaris bawahi. Secara paksa, jika aku tak merengek dan hampir menangis, Mario tak akan mau makan siang atau sekedar jalan di koridor Mall denganku. Tega, ‘kan?
        “Mario, aku minta maaf karena melupakan hari jadi kita. Aku nggak terlambat, ‘kan?” Aku terdiam sebentar, memikirkan kembali apa kalimatku ini akan berdampak baik pada kelanjutan hubungan kami. Takutnya, yang ada Mario akan marah jika aku melupakan hari jadi kami. Tetapi bukankah Mario juga selalu lupa?
        Sekali lagi aku menjatuhkan kepalaku pada stir mobil, “terlalu mainstream kata-katanya.” Aku menunduk dan kembali berfikir, membiarkan rambut panjangku menutupi sebagian wajahku. Ya ampun, mana pernah aku sefrustasi ini hanya karena pacar cuekku? Iyalah, pacarku sebelumnya itu selalu sayang dan memanjakkanku. Tetapi bagaimana dong, namanya juga cinta.
        “Apapun yang terjadi. Lo harus turun, Felly.” Ujarku meyakinkan diriku sendiri. Aku meraih sling bag ku dan mencantelkan pada bahuku, kemudian meraih kotak kue yang diberikan oleh Kezia dan Yudha. Tak lupa aku mencabut kunci mobilku terlebih dahulu, baru aku membuka pintu.
        “Membiarkan dress selututku tertiup angin, karena tanganku yang kerepotan memeluk kotak kue yang terbilang cukup besar. Ya, mungkin sekitar 50x50 cm. Selama rokku tidak menyingkap keatas, aku rasa semua aman. Lagi pula aku menggunakan dress yang bagian bawahnya memiliki banyak lapisan kok.
        “Mbak Felly, sudah lama tidak kesini.” Aku tersenyum saat menyadari Pak Ian –satpam kantor Mario menyapaku dengan ramah. Bahkan Satpam saja sadar kalau aku sudah jarang kesini, ya karena memang sebelum semua kekacauan itu terjadi aku sering sekali kesini. Mengingat kekacauan itu, aku merasa sangat bersalah dengan Mario, tetapi aku sudah meminta maaf ‘kan. Dan semua selesai.
        “Marionya ada, Pak?”
        Pak Ian mengangguk kemudian tersenyum ramah, membuat aku ikut tersenyum, saat mengingat cerita Mario tentang Satpam berusia hampir 50 tahun ini. Menghidupi 3 orang anaknya juga 2 orang cucu. Ia bahkan sangat semangat bekerja, betapa beruntungnya Istri Pak Ian.
        “Ada, Mbak. Sepertinya sedang ada artis yang bertemu dengan Mas Mario.” Aku terdiam sebentar. Pantas saja, rupanya Mario sedang memiliki project dengan salah satu penyanyi. Aku memutuskan untuk meletakkan kotak kue di atas meja satpam. Karena menurutku, masuk ke dalam ruangan Mario disaat ia ada tamu, malah membuat Mario marah padaku.
        “Artis lama atau baru, Pak?”
        “Sepertinya Baru, tetapi dia sudah beberapa kali kesini.” Aku mengangguk paham kemudian bersandar pada meja satpam yang sebatas dadaku.
        “Mario selalu sibuk ya, Pak?”
        “Mbak sama Masnya sedang bertengkar ya? Setiap datang, Pak Mario selalu dengan wajah cueknya.” Aku mengkerutkan keningku. Apa Pak Ian sebegitu sadarnya dengan kerenggangan kami?
        “Bapak kan punya 2 anak perempuan dan 1 laki-laki. Bapak tahu pasti, bagaimana anak muda galau karena pacarnya.” Kini aku malah tersenyum sambil tertawa kecil, melihat Pak Ian yang malah menggodaku.
        “PAK SATPAM!” aku mendengar seorang perempuan dari dalam kantor meneriaki Pak Ian dengan kencang, membuat aku menoleh begitupun Pak Ian. “Sebentar ya, Pak.” Aku mengangguk dan menatap Pak Ian dengan perempuan itu dari depan. Tak dapat mendengar pembicaraan mereka, namun aku bisa melihat perempuan itu mulai tak sopan dengan Pak Ian.
        “Mbak, tolong urus bapaknya nih.” Teriak perempuan itu dan kembali berjalan ke luar kantor dengan tas louis vuittonnya. Aku mengkerut saat aku sadar ia berteriak padaku, ya karena memang disini tidak ada perempuan selain aku.
        “Mas Jono, tolong Pak Iannya.” Satpam lainnya yang aku ketahui bernama Jono pun menghampiri Pak Ian yang kini menunduk.
        “Ada apa, Pak?”
        “Hanya salah paham kecil, Mbak. Itu Mbaknya sudah pergi, silahkan bertemu Mas Mario.” Aku tersenyum kecil, jadi penyanyi baru macam ini yang menarik perhatian Mario hingga melupakanku? Perempuan tidak sopan.
        Dengan perlahan aku berjalan ke dalam, sembari berjalan mataku ini tak ada henti-hentinya memperhatikan sofa-sofa yang tersedia juga beberapa pajangan dan ada sebuah meja yang khusus diisi awards yang diraih para artis yang sedang terlibat kontrak dengan label musik tempat Mario bekerja ini.
        Tok. Tok. Tok. Tok.
        Aku menghentikan langkahku kala mendengar suara sepatu menyapa lobi kantor dan berjalan dengan cepat, dan aku siap menoleh untuk melihat kekacauan sepatu heelsnya.
        Bruk.
        Aku merasakan nyeri pada punggungku, kepalaku terasa sedikit pusing saat tubuhku terhempas kelantai. Melupakan sosok kotak kue yang sedari tadi aku jaga. Aku mengerjapkan mataku kemudian bangkit dari posisiku sebelumnya, menatap perempuan yang menjadi partner kerja Mario ini menatapku dengan tajam.
        “Kalau berhenti jangan mendadak!” bentaknya padaku. Aku mengkerut, mencoba berfikir, siapa yang sebenarnya bersalah disini? Aku mengusap kepala bagian belakangku, menyadari rambutku berantakan, aku segera merapihkan rambutku dengan jari.
        “Astaga, kue gue.” Pekikku langsung menunduk dan meraih kotak kuenya. Membuka penutup kotak tersebut dan mengeceknya. Ya ampun, krimnya bececeran kemana-mena, tak berbentuk, parutan kejunya jatuh ke bawah semua. Ya ampun, Mario maaf.
        “Jangan nyalahin gue, ini salah lo.”
        “Kalau lo gak bikin kegaduhan, gue nggak akan berhenti!” teriakku tak mau kalah. Jika diingat alasanku berhenti, karena bunyi heelsnya kan?
        “Kue gue gimana ini?”
        “Emang gue pikirin.” Perempuan itu menata rambutnya yang tidak berantakan sama sekali, membuatku memutar bola mata dengan kesal. Berapa umur perempuan ini, sudah seperti tante-tante saja. Make-up juga tebal sekali, kalah aku.
        Aku menghela nafas panjang kemudian menatapnya dengan tatapan tajamku, memperintahkan perempuan tidak tahu diri ini mengganti kue ku. Jika tidak ada kue ini, apa yang harus aku jadikan alasan agar bisa bertemu Mario?
        “Kak Mario…” aku mengkerut saat perempuan itu berjalan ke arahku, tepat pada orang dibelakangku. Mendengar namanya aku segera menoleh. Bahkan memanggil Mario dengan panggilan Kakak, itu artinya dia jauh lebih muda dari Mario, tetapi berdanda seperti tantenya Mario saja. Hih.
        “Ada apa Felly?” aku mendesah melihat Mario yang tidak menoleh saat perempuan tidak dikenal itu bergelayut pada lengannya.
        “Kakak kenal perempuan ceroboh ini?” Aku menundukkan kepalaku, seolah tatapan Mario benar-benar mematikanku, menghancurkan keberanianku, menciutkan nyaliku. Aku menatap sekilas cheese cake yang sudah hancur dan kembali menutupnya.
        “Tadinya aku ingin ketemu kamu, tetapi cheese cake yang aku bawa jatuh ke lantai. Jadi aku pulang ya.” Aku membalikan badanku dan berjalan menjauhi Mario dan perempuan yang tidak aku kenal itu.
        “Felly.” Aku menghentikan langkahku kala Mario memanggil namaku. Tak perlu menoleh aku akan dapat mendengarkan perkataan Mario. “Hati-hati, ya.” dan saat itu air mataku turun membasahi pipiku, membuat aku menunduk dan kembali berjalan menuju mobilku.

***

        “Nggak berhasil?” aku mengangguk kemudian kembali memeluk bantalku. Menundukkan kepalaku, tak ingin menatap teman-temanku yang kini kembali menatapku sambil memasangkan wajah kasihannya. Memang tak bisa dipungkiri, diriku sendiri juga merasa kasihan padaku. Betapa bodohnya aku.
        “Benar-benar nggak ada yang bisa diharapan lagi. Gue benar-benar harus ambil keputusan.” Kataku membuat semua kembali menatapku, sampai Kezia mengalihkan pandangannya dari ponsel.
        “Kalau dia aja nggak ada niat ngobrol setelah insiden di kantornya, untuk apa gue pertahanin?” Iya gak sih, ngapai aku sibuk-sibuk mikirkn kelanjutan hubungan kita kalau Marionya saja seolah tak peduli padaku. Tak ada niat meminta maaf, atau mengganti kueku, atau hanya sekedar menjelaskan perempuan tidak tahu diri ini.
        “kakak kenal perempuan ceroboh ini?” Hatiku terasa nyeri kala mengingat perkataan permepuan itu. Bahkan ia baru bertemu aku sekali, dan bisa menyimpulkan bahwa aku adalah seseorang yang ceroboh. Memang, bahkan Mario berkata seperti itu. Namun inilah aku, kamu harus mencintai kekurangan juga kelebihanku.
        “Masih ada jalan lain, Felly. Pikirin matang-matang.” Aku menatap tajam pada Kezia, membuat Kezia bangkit dari duduknya dan menghampiriku.
        “Untuk apa gue capek-capek mikirin, Kez. Bahkan kayaknya Mario nggak pernah mikirin kelanjutan hubungan kita.”
        “Semua bisa diomongin baik-baik.” Kini aku melotot tajam pada Steffy. “Setelah semua yang gue lakuin, dia gak ada niat ngobrol sama gue. Gimana bisa diomongin?”
        “Iya tenang. Gue bakal ngomong baik-baik sama Mario.”
        “Nggak perlu, kalian gak perlu ikut campur.” Kini semua mata menatapku tak percaya. Bukan, bukan itu maksudku.
        “Maksud gue, gue nggak mau Mario berfikir kalau gue masih kekanak-kanakan dan meminta bantuan kalian. Gue bisa nyelesain masalah ini sendiri.” Aku mendengar Cherly menghela nafasnya kemudian mengelus pundakku.
        “Kita percaya sama lo. Buang emosi lo, tunjukin lo bisa.”
***
        Setelah mendapatkan update-an terbaru dari Mario melalui akun pathnya. Akhirnya aku memutuskan untuk datang kesana, membuat janji pada teman lamaku disana. Setidaknya aku ingin membuat Mario merasakan apa yang aku rasakan kemarin, saat menatap bahwa lengan itu bukanlah milikku, lengan itu bisa direngkuh oleh siapapun. Jelas saja aku merasa cemburu, aku merasa tidak diinginkan.
        “Nggak jauh dari rumah, mungkin 30 menit gue sampe.” Setelah Harry mengucapkan kalimat tersebut. Aku pun bersiap-siap dan berjalan ke halaman rumah, mengeluarkan mobilku dari garasi dan segera melesat menuju kafe yang menjadi tujuanku saat ini. Kafe yang digunakan Mario dan teman-teman sekantornya untuk merayakan peluncuran album terbaru perempuan tidak tahu diri itu.
        Aku tersenyum lebar, saat masuk ke dalam parkiran kafe ini, aku dapat melihat mobil hitam Mario yang terparkir sempurna disana. Hm, sudah berapa lama aku tidak duduk disampingnya?
        Kring.
        Setelah aku ikut parkir dengan sempurna disamping mobil avanza putih, aku pun meraih ponselku. Menjawab panggilan dari Harry. “Ya Harr?”
        “gue udah sampe. Meja nomor 8. Paling ujung. Disini ramai banget, takutnya lo gak nemu.” Aku tersenyum lebar kala mendengar perkataannya. Jadi aku akan duduk dekat dengan acaranya Mario? Harry pintar sekali.
        “Ada Mario juga.” Aku mendengar suara Harry sedikit berbisik, membuat aku makin melebarkan senyumanku dan segera keluar dari mobil.
        “Gue jalan kesana. Sekarang.”
        Setelah sampai di depan pintu kafe ini, aku memang melihat sebuah spanduk dengan tulisan “Christy Saura release new album” Aku tersenyum miring. Oh jadi nama perempuan kemarin itu Christy. Duh, Mario kamu ketemu perempuan macam ini dimana sih.
        “Atas nama siapa, Mbak?” seorang penjaga receptionist bertanya padaku, membuat aku terdiam sebentar kemudian menyebutkan nama Harry. Akhirnya Orang tersebut mengantarku menuju meja Harry, melewati kerumunan Mario dan kawan-kawannya. Aku sengaja tak menatap kesana, aku tak ingin jika tertangkap menjadi pihak yang bersalah. Aku tidak ingin Mario tahu bahwa aku tahu ia ada disini.
        “long time no see..” aku menggapai pelukan Harry. Kakak kelasku sejak SMA yang aku taksir besar-besar, kini sudah menikah dan memiliki bayi mungil. Aku tersenyum saat mendapatkan kabar darinya sekitar 2 tahun yang lalu. Aku juga mengenal baik istri Harry yang juga merupakan kakak kelasku saat itu. Dan sejak dulu, Harry tak mengizinkanku memanggilnya dengan embel-embel kakak.
        “Kakak apa kabar?” tanyaku. Aku pun memulai basa-basiku, menceritakan ulang masa-masa SMA kita. Harry juga menceritakan tentang proses persalinan istrinya, menceritakan juga kala mereka memperebutkan nama untuk anak perempuannya. Seolah terbawa suasana, aku ikut memikirkan itu, kala aku bertengkar dengan Mario soal nama anak kami, siapa yang kira-kira akan mengalah.
        “Bahkan soal jenis kelamin saja, kami ribut. Marsha ingin laki-laki, sedangkan aku perempuan. Well, kamu tahu pemenangnya kan.” Aku kembali tertawa dan kembali membayangkan bahwa aku juga menginginkan anak laki-laki sebagai anak pertamaku dengan Mario nanti. Ya ampun Felly, bahkan hubungan kalian tidak jelas, bagaimana bisa kamu berfikir akan memiliki anak dengannya?
        “Aku ke toilet sebentar, kak. Nanti sambung lagi.” Setelah mendapat persetujuan dari Harry, aku pun berjalan meninggalkan meja kami, kembali melewati meja Mario namun aku berlagak sibuk dengan rambut panjangku. Tak menatap ke arah sana sama sekali.
        Setelah selesai dengan urusanku di toilet, aku pun kembali berjalan menuju meja Harry. Lagi-lagi tak menatap kea rah Mario. Aku segera duduk di hadapan Harry. Kini Harry mendekatkan dirinya padaku sambil menyodorkan ponselnya. “lihatlah anak gadisku.” Mendengar perkataannya sontak aku mendekatkan dirinya, menatap layar ponselnya yang malah menunjukan wallpaper ponselnya.
        “tadi Mario kesini, nanya gue siapa. Gue jawab aja, temen lama lo.” Aku langsung tersentak dan menjauhkan kepalaku. Namun Harry kembali menarik pundakku.
        “Dia memperhatikan dari sini.” Felly pun kembali terdiam disamping Harry sambil terus memperhatikan wallpaper ponsel Harry yang terpampang fotonya dengan Kak Marsha. Halah. Bikin orang gondok aja.
        “terus dia jawab apa?”
        “lo keburu balik, dia langsung pergi.” Aku menghela nafas, padahal aku ingin mendengar tanggapannya tentang usahaku kali ini. Aku ingin tahu apa yang ada difikrian Mario saat aku bersama laki-laki lain. Berhasilkah usahaku kali ini? Mengetahui alasan Mario bersikap tak peduli padaku?
        Aku merasa Harry makin mendekati telingaku, aku memang sudah menceritakan keluhanku pada Mario. Memang tak menguntungkan sih, namun ia siap membantuku. Ia sudah menganggapku sebagai adiknya. “dia kesini, Fell.” Aku merasa jantungku berhenti berdetak, karena tiba-tiba…
        “Felly..” aku membeku ditempat, saat mendengar suara yang sudah lama tidak aku dengar memanggilku dengan lembut, kembali berucap. Bukannya aku merasa senang, aku merasa takut. Seolah planning ku sejak lama yang ingin membuat Mario marah malah berganti, kekhawatiranku berubah menjadi takut diputusin.
        “Siapa laki-laki ini?” tanya Mario dengan nada tertahannya. Seperti sudah mengerti tentangnya, aku tahu ia sedang menahan marahnya. Ia tak peduli lagi pada sekelilingnya, pada Christy yang disana menatapnya bingung.
        “Kalau mau kemana-mana aku udah bilang harus kabarin aku. Kamu kok nggak ngerti sih.” Aku tersenyum dalam hati, melihat Mario kini marah dihadapanku, mengucapkan kalimat dengan panjang. Ya, aku suka Mario yang seperti ini. Aku butuh ia sadar dengan kehadiranku, menganggap penting diriku, dan selalu ingin didekatku, seperti aku.
        “Sudah bosan diperhatiin, Hm?”
        Aku menggeram. Bosan diperhatiin, apa dia tidak salah bicara. “Diperhatiin siapa maksud kamu? Diperhatiin Harry, kah? Bahkan kamu nggak pernah kasih aku perhatian, Mario. Kamu berubah.” Aku ikut tersulut emosi, seolah perkataannya tadi, membuat aku salah dimata orang yang menatap kami. Padahal sebenarnya dialah yang salah disini.
        “Jadinya namanya Harry? Siapa Harry ini, selingkuhan kamu, atau pacar kamu?”
        Plak.
        “MARIO!” Aku menoleh ke belakang Mario, menatap Christy yang berusaha menghampirinya. Namun aku langsung membuka lebar tanganku. “jangan mendekat!” Aku kembali menatap Mario yang masih sibuk memegangi pipinya yang aku tampar. Bagaimana bisa ia terfikir bahwa Harry ada selingkuhanku.
        “Kita bicarain ditempat lain!” Mario menarik kasar lenganku, membuat aku menepisnya namun gagal, ia lebih kuat. Kalian harus tahu, laki-laki selalu menang dalam masalah tenaga.
        “Jangan kasar, bro. pelan-pelan.”
        “Diem lo. Ini cewek gue!” Mario kembali menarik tanganku. Rasa sakit pada pergelangan tanganku seolah tak terasa kala Mario mengakui sebagai kekasihnya dihadapan banyak orang, dihadapan Harry juga beberapa teman kerjanya. Aku bahagia, namun bukan seperti ini.
        “Kalau lo selingkuhan Felly, gue akan ngebisin lo disini.” Mario menghempaskan tanganku dan siap memukul Harry, jika saja suara perempuan tidak menyapanya.
        “Sayang…” Semua fokus berpindah pada gadis dengan seorang bayi dalam gendongannya. Harry tersenyum lebar. “gue murni temenan sama Felly. Gue udah punya istri. Selesain masalah lo.” Tanpa berfikir panjang, Mario menari tanganku, membawaku meninggalkan kafe, dan masuk ke dalam mobil.
        Aku melihat Mario mengeluarkan ponselnya, “aku bawa mo–“
        “Pak Ian, tolong Mobil Felly di Kafe jl. Sudirman. Kuncinya ada di laci meja kerja saya pak.” Setelah diam dengan ponselnya. Mario menutup teleponnya dan kembali menatapku.
        “kita omongin di apartemenku. Tenangin diri kamu.” Mobil Mario pun mulai berjalan meninggalkan halaman parkir. Aku disuruh nenangin diri katanya? Yang ada dia nenagin diri.

****
        Setelah kami berdua tiba di ruang tamu apartemen Mario, dengan sopan Mario menyuruhku duduk di sofanya. Dan dengan patuh, aku menuruti perkataannya. Mataku jelas masih memerah, perjalan dari kafe ke apartemen Mario tak berhasil menenangkan diriku.
        “aku minta maaf.” Aku mendongakan kepalaku, tak menyangka Mario akan menyadari kesalahannya. Aku menatapnya dengan senang, berharap ini awal yang baik untuk hubungan kita.
        “Aku sadar hampir 6 bulan ini aku cuekin kamu. Aku sadar aku salah, makanya sekarang aku minta maaf.” Mataku mulai kembali memerah kala aku mendapatkan perkataan maaf yang aku tunggu-tunggu sejak lama.
        “aku seperti ini hanya karena aku takut kamu tidak serius dengan hubungan kita, mengingat kejadian 6 bulan yang lalu, aku berfikir ini terlalu main-main.” Aku membeku ditempat. Menyadari bahwa masa laluku benar-benar membawa dampak buruk bagi hubunganku dengan Mario.
        “aku minta maaf..” kini aku yang membuka suara. Mario masih berdiri didepan meja ruang tamu, menatapku yang kini mendongak dengan mata berkaca-kaca.
        “sejak 6 bulan yang lalu, aku selalu berfikir bahwa laki-laki yang bersama kamu adalah selingkuhan atau pacar kamu. Malah aku berfikir bahwa kamu menduakan bahkan lebih dari itu” aku melotot mendengar perkataannya.
        “kamu fikir kau cewek murahan?”
        “iya-iya maaf, aku minta maaf sudah berfikir seperti itu, sungguh aku gak maksud mengatakan hal seperti itu.” Aku terdiam. Seolah tak ingin membuka lama, aku tak ingin membahas masa lalu.
        “Meskipun jelas-jelas saat kamu tertangkap selingkuh, kamu memilih aku, aku merasa tidak cukup, aku takut kamu mengulanginya lagi.” Aku terdiam. Sebegitu pengaruhnya kamu, Mario?
        “Mario dengarkan aku, saat aku sudah pilih kamu, ya akan hanya ada kamu.”
        Mario mengangguk paham, “begitupun aku. Saat aku merasa yakin sama kamu. Setahun yang lalu aku menyatakan perasaanku, bukan hanya sekedar menyatakan, aku benar-benar memilih kamu, bukan sekedar menjadi kekasihku, tetapi calon istriku.” Aku dibuat mematung dengan perkataannya. Jadi Mario juga berfikir sejauh ini.
        “Maka dari itu aku nggak mau main-main. Aku benar-benar mau jaga kamu.”
        “terus kenapa kamu cuekkin aku? Aku itu butuh kamu disamping aku, aku butuh bahu kamu, aku butuh semangat aku saat aku sedang sedih. Kemana kamu saat itu, kenapa kamu malah nggak peduli sama aku.” Mengingat inti permasalahanku, aku mengutarakannya dengan air mata berlinang. Air mata bahagia juga air mata kesakitan.
        “Aku minta maaf, aku tahu beberapa hal yang kamu lakukan untuk menarik perhatianku. Tetapi kembali ke awal, aku takut kamu menganggap ini semua main-main.”
        “bahkan kamu gak berniat memberitahu aku siapa perempuan yang bergelayut saat aku ke kantor kamu beberapa hari yang lalu.” Mario terlihat terdiam kemudian mulai mendekatiku dan duduk disampingku.
        “Itu artis baru yang sedang terlibat kontrak. Kamu tahu aku soal pekerjaan. Aku butuh dia, Felly.” Aku terdiam. Aku sudah tahu itu, bahkan aku sudah membaca spanduknya didepan kafe.
        “aku minta maaf karena sikapku yang seolah tak peduli dengan apapun yang kamu lakukan. Aku nggak suka saat kamu pakai rok terlalu pendek, dan kamu mengunggah ke instagram, aku nggak suka saat aku tahu kamu pergi dengan teman-temanmu juga para pacarnya tetapi kamu nggak ngajak aku. Aku nggak suka saat kamu menyebrang di depan kantor aku tanpa satpam, kamu bisa celaka Felly.” Aku terdiam. Jadi dia tahu semua yang aku lakukan untuk menarik perhatiannya? Jadi dia tahu semuanya?
        Bukannya merasa senang, aku justru merasa sakit hati dengan perlakuannya. “Terus kenapa kamu diam aja!” aku membentak Mario, membuat Mario menundukan kepalanya kemudian meraih kepalaku pada dekapannya, membuat aku terdiam dan hampir terlena. Namun dengan cepat aku mendorong dirinya.
        “Aku butuh waktu untuk meyakinkan diriku, dan saat aku lihat kamu sama laki-lai dan menempel seperti itu, aku merasa sangat marah, dan akhirnya aku menghampiri kamu. Jangan salahkan aku, salahkan cintaku yang terlalu besar” aku kembali meneteskan air mataku dihadapannya. Menyadari betapa besar ia mencintaiku namun dengan cara yang salah.
        “Aku benar-benar serius sama kamu, Felly. Waktu enam bulan sudah cukup bagiku, dan aku yakin dengan keputusanku.” Ia menarik nafas panjang kemudian sedikit memiringkan tubuhnya agar lebih tepat menatap padaku.
        “Apa kamu mau menikah denganku?” aku terdiam. Menyerap kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya. Aku terharu dengan perkataannya, pernyataannya.
        Mario meraih tanganku dan tangan yang bebas meraih sesuatu dibawah meja ruang tamunya. “aku berniat besok akan meminta maaf, tetapi ternyata takdir berkata lain.” Cincin yang baru saja ia ambil, disematkan dijari manisku, membuat aku tersenyum namun tetap saja air mata menetes.
        “Mario…” aku ambruk dalam pelukannya, memeluk erat punggungnya dan menenggelamkan wajahku pada dadanya. Aku sangat menyayangi laki-laki ini. Aku tidak tahu jika Mario seserius ini dengannya. Ya tuhan, maaf untuk perlakuanku dulu, perlakuan yang membuat kekasihku merasa trauma dengan pacarnya sendiri.
        “pipi kamu sakit ya?” tanganku bergerak mengelus pipinya yang aku tampar saat di kafe. Dia tersenyum kecil kemudian mengusap kepalaku.
        “Sembuhin dong,” aku bangkit dari dudukku, berniat mencari handuk dan air hangat untuk mengompres memar dipipinya, apa sesakit ini?
        “mau kemana?”
        “nyari air hangat dan handuk kecil.”
        “cium aja, aku sembuhku” aku langsung memukul lengannya saat menyadari perkataannya. Ia malah tersenyum dan terus menghindari pukulanku pada lengannya. Bahkan kami sampai bekejar-kejaran di ruang tamu Mario. Aku benar-benar bahagia saat ini, bisa kembali menatap senyumnya, tawanya, dan aku sangat mencintainya.
        Mario menghentikan langkahnya dan memelukku dengan erat, menyalurkan perasaan rindu kami yang hampir enam bulan tak pernah seintim ini. Aku bersyukur karena kesalah pahaman ini sudah selesai, aku bersyukur karena aku akan kembali bahagia bersama Mario.
        “sorry, and I love you” aku tersenyum dan segera mengecup pipinya dan kembali melarikan diri, membuat keadaan berputar, karena kini Mariolah yang mengejarku dan saat tertangkap ia tak melepaskanku dan kembali memelukku. “I love you too, my prince.”

        “and I miss you, btw.” 

Btw, Kalau mau baca lebih komplit, bisa cek ke wattpad aja ya. Ada beberapa bagian yang disini gak ada.


Friday, September 11, 2015

Popular Hair


POPULAR HAIR

          Aku menatap pantulan diriku di depan cermin kamarku, aku sengaja meminta Mama untuk membelikan kaca yang sepanjang tubuhku, aku harus terus menatap rambutku yang makin lama semakin panjang. Mungkin ini dikarenakan aku yang terlalu mengidolakan kisah Rapunzel yang teramat sangat cantik. Dan dengan bodohnya aku mengikuti seluruh gayanya. Rambut lebatku ini terus aku buat panjang, dan aku rawat sebaik mungkin, aku tidak mau rambut panjang yang kusut, nanti jadinya dikira kuntilanak, ya meskipun yang terjadi padaku memang seperti itu.
          Wajahku juga cukup mendukung sebagai Rapunzel, mataku bulat besar, juga dengan bibir sedikit tebal. Aku bangga, tentu saja, siapa yang tidak bangga bisa mirip dengan Idolanya? Pasti kalian akan bangga jika dikatakan mirip dengan idola kalian, meskipun berlainan kelamin juga pasti akan bangga. Begitupun aku, bahkan kita berbeda dunia, tetapi aku tidak masalah sama sekali, sungguh.
          “Jangan lama-lama nyisir rambutnya, Reno udah nunggu kamu” aku segera menguncir tinggi rambutku, tidak berniat menggerainya begitu saja, yang ada rambutku akan ditarik-tarik jika berpapasan dengan para haterku di sekolah.
          Aku segera berjalan menuruni anak tangga rumahku, menatap Reno yang sedang mengobrol dengan Ibuku. Untungnya Ibuku tidak mengungsikanku ke menara tinggi akibat rambutku yang tak ada ajaib-ajaibnya ini. “Sudah selesai” ujarku riang, Reno menoleh kemudian tersenyum. Aku mencium punggung tangan Ibuku kemudian berjalan menuju halaman rumah bersamaan dengan Reno.
          “kenapa dikuncir, gak mirip Rapunzel dong” ujar Reno saat ia menyodorkan helmnya kepadaku, tanpa memikirkan rambut aku segera memakai helm ini.
          “Bodo amatlah. Gue sebel dikatain kuntilanak, anak-anak sekolah kita gak tau dongeng Rapunzel kali ya. Gak tau kalau rambut gue ini ajaib” aku mendengus sebal saat jawabanku dibalas dengan kekehan renyah milik Reno. Sahabatku yang satu ini sangat mengerti aku, karena dia sudah melihat tanda-tandanya. Dia sudah bersamaku sejak kita masih hobi mandi bareng sampai sekarang jika aku memakai celana selutut akan teriak kesetanan jika dia datang.
          “kalau rambut lo dikuncir gitu, lo malah mirip sama Ariana Grande tahu gak” aku mengkerut bingung dengan perkataannya. Ariana Grande, hello please deh cantikan Rapunzel kemana-mana, keles. Tapi aku tak menolak jika Reno berkata aku lebih mirip dengan Ariana, mungkin aku bisa menambah dia sebagai idolaku. Ah tidak Rapunzel, aku hanya bercanda, maafkan aku.
          “udah buruan jalan deh, udah mau jam 7 tahu!” Reno kembali terkekeh kemudian segera menaiki motor besarnya, menyalakan mesin dan aku segera naiknya, belum aku menginjak pedal motornya, ia sudah menggasnya dengan pelan. Aku segera menarik helmnya. “gue belum naik, bego” dia makin tertawa terbahak saat aku sudah duduk di belakangnya.
          “buruan jalan, gak usah kebanyakan ketawa. Udah kayak mbak kunti aja” ketusku dan Reno segera menjalankan motornya, meskipun masih diiringi dengan kekehan-kekehannya. Masa bodolah.

***

          Aku berjalan memasuki rooftop hotel yang sudah di pesan oleh sekolahku ini, dengan mengenakan gaun ala Rapunzel namun hanya sebatas lutut, aku berjalan masuk ke dalam sana. Menatap desain rooftop ini yang sangat keren. Aku sangat berterimakasih kepada panitia pelaksana acara promnight rutin sekolahku ini. Setelah tahun lalu memilih tema garden, kini panitia memilih tema princess and prince, ya intinya tentang para Disney, dongeng, dan sejenisnya gitu loh. Jadi aku kesini tidak salah kostum. Ada beberapa yang mengenakan gaun Cinderella, Aurora, Snow White, dan sejenisnya, tunggu untuk kostum satu itu benar-benar patut aku anjungi jempol. Mermaid. Putri duyung. Dia pakai kembenan, ya ampun.
          “nice kostum, Key!” aku menegur Keyla yang mengenakan gaun ariel itu diiringi tawaku, bukan mengejek, namun tak menyangka akan keberaniannya memakai kostum itu, Selain karena kembenan, kostum itu juga memiliki buntut dan tanpa kaki, kan. Namun apa yang ia usahakan, ia tetap berjalan dengan kaki, namun terlihat seperti ekor duyung.
          “Yes, have fun with the party, Rapunzel” aku tertawa saat mendengar jawabannya, dia makin menyunggingkan senyumannya dengan nakal. Aku tak peduli, meskipun ia adalah musuh terbesarku, aku harus tetap ramah bukan?
          “Hallo semua…” semua pandangan menatap kearah panggung utama, disana berdiri seorang laki-laki dengan kostum beast pada dongeng beauty and the beast. Meskipun tak seburuk beast dalam dongeng tersebut, namun ia juga tak setampan pangeran dalam dongeng Cinderella.
          “diam disini dan jangan kemana-mana, handphone gue ketinggalan di motor” aku mengangguk dan mengabaikan Reno yang mungkin kini sudah berjalan menjauhiku, meninggaliku ditengah kerumunan siswa SMA 65 Jakarta ini.
          “ada yang bisa menebak, promnight kali ini dipersembahkan untuk siapa?” dalam sekejap, semua mata menatapku dengan tatapan mencemooh. Ya tuhan, ya tuhan, apa yang akan terjadi?
          Kayla, perempuan duyung menyebalkan itu berjalan mendekatiku sambil memegang sebuah gunting di tangan kanannya. Tuhan tolong, jangan biarkan kejadian ini terulang kembali. Demi apapun aku tidak ingin semua orang mencuri rambutku, jika ajaib pun aku tidak akan mengizinkannya, dan pada kenyataannya rambutku sama sekali tidak ajaib, apa yang membuat mereka memperebutkannya.
          “Rapunzel wanna be” aku menoleh ke kiri, mendapati perempuan dengan kostum Mulan –dongen asal cina itu berjalan juga memegang sebuah gunting ditangannya. Reno aku mohon kembali. Aku bukan perempuan cengeng, namun jika ini berurusan dengan rambutku, jangan harap kalian bisa tenang, kawan.
          “kayaknya rambut kalian udah cukup bagus, kenapa harus ngambil rambut gue?” dengan jantung berdetak cepat, aku menatap dua perempuan itu secara bergantian, mereka malah tersenyum miring dan mulai menggerak-gerakan guntingnya tepat di depan wajahku. Ya ampun ya ampun, aku takut, sungguh.
          Dengan spontan aku menoleh ke belakang, aku merasa kuncir rambutku di tarik dengan paksa oleh seseorang dari belakang sana, saat aku menatapnya ternyata itu adalah laki-laki beast yang tadi berbicara di atas panggung kecil yang tersedia di sudut rooftop.
          “Rambutnya bagus, lembut, dan tebal, bisa kita jual” ujar laki-laki yang tidak aku ketahui namanya sambil membelai rambutku. Demi tuhan, aku jijik dengannya.
          “Rambut gue gak ada harganya, sumpah. Gue bukan benar-benar Rapunzel, rambut gue gak ajaib sama sekali” perempuan dengan kostum mulan itu tersenyum remeh padaku. Aku pernah satu kelas dengannya saat kelas 1 SMA, dan hubunganku dengannya cukup tidak baik, memang.
          “kasih guntingnya ke gue, kalian terlalu lama” ujar beast dengan kasar, namun ariel melarangnya dan menggeleng pada beast. “Reno belum bisa diamanin di bawah sana, sampai dia benar-benar aman, baru kita bisa mulai” apa, Reno?
          “Kalian mau apakan Reno?” Aku mencoba berjalan dan menjauhinya, namun apa daya, mereka keburu mengurungku. Semua yang ada disini hanya menatapku, sebagian ada yang merasa kasihan, sebagian lagi ikut menatapku dengan tatapan cemooh. Aku benar-benar tidak tahu, selama aku sekolah disini aku memiliki para haters.
          “Diam disini dan Reno akan aman” aku angkat tangan dan masih menatap orang-orang sarap di hadapanku ini. Aku gak tahu punya salah apa dengan mereka.
          “Gue ada salah, yang mana?” aku kembali bertanya, dan kini dijawab dengan kekehan asal.
          “plagiarist gonna be plagiarism” aku menggeleng tak percaya pada jawaban yang di berikan oleh Mulan.
          “Gue yang plagiat apa urusannya sama kalian. Gue sama sekali gak minta bantuan kalian, kan?”
          “bahkan disaat seperti ini, lo sama sekali gak berniat minta tolong?” aku menatap beast yang masih bersedekap dada di hadapanku, ditemani Ariel dan Mulan wanna be disampingnya.
          “buat apa minta tolong sama sampah sejenis kalian, disini semua sama. Gak seharusnya mereka diam seperti ini, disaat gue diseperti ini kan” jawabanku bukannya membuat mereka mundur, mereka malah menertawakanku lagi dan kini si Ariel mulai mendekatiku.
          “Reno sudah aman, bisa kita mulai” dia menarik ujung rambutku ke hadapan wajahku dan mulai mengarahkan guntingnya kesana. “1 centi atau dua centi bukan masalah, jika kalian memerlukan itu” jawabku kemudian ikut besedekap dada dan membiarkan Ariel dan Mulan menggunting rambutku sedikit demi sedikit.
          Aku tidak benar-benar pasrah, aku ingi menoleh kemudian menarik gunting mereka berdua kemudian menyayat wajahnya. Aku tak sungguh-sungguh memberikan rambutku barang secentipun. Aku melarang itu, namun aku tak akan membiarkan diriku menangis atau menolak, karena itu akan benar-benar membuat mereka semakin merasa berhasil.
          “25 centi bagaimana, nona?” aku menoleh menatap ke bawah, menatap rambutku yang sudah bergerumpul di lantai bawah. Aku menatap tak percaya pada rambutku yang kini hanya tinggal sebatas bahu, aku tak percaya mereka akan benar-benar melakukan ini padaku. Mataku memanas, aku sakit hati dengan ini, aku merasa dilecehkan. Dengan perasaan marah, aku mendorong Ariel kemudian merebut gunting tersebut darinya, mengarahkan gunting itu ke hadapan wajahnya yang kini tersungkur di bawah sana.
          “sebutin gue punya salah apa sama lo, jabarin semuanya. Jika kesalahan gue besar, gue gak akan masalah dengan pelecehan ini. Cepat jelasin!” aku memajukan gunting ini tepat di depan wajahnya, melarangnya untuk berteriak atau bergerak sedikit pun.
          Aku mendengar Mulan dan Beast berteriak disana, diiringi bisikan-bisikan sampah lainnya. Aku tak peduli pada wajahku yang memerah. “jika kalian mendekat, gue bakal benar-benar menusukan gunting ini ke matanya” aku menatap Ariel yang kini menatap teman-temannya dengan tatapan memohon untuk tidak bergerak.
          Rambut yang aku rawat dengan sangat lama, kini hilang begitu saja, belum perawatan yang aku jalankan benar-benar menyita semuanya. Dan aku tidak tahu apa yang aku sita dari mereka, sehingga dengan mudahnya mereka menyita rambutku.
          “karena lo nge-rebut Reno dari gue!” kini mataku membulat tak percaya, namun itu tidak membuat air mataku berhenti mengalir. Aku tidak menyangka jika Kayla ini benar-benar mencintai Reno. Sahabatku sejak kecil yang juga sangat aku sayangi.
          “Gue gak suka Reno selalu mengutamakan lo, dan asal lo tahu, lo adalah alasan utama gue kenapa gue mutusin Reno dulu” aku berdecak, menyadari bahwa Reno dan Kayla pernah berpacaran saat kelas 1 SMP. Namun aku tidak tahu jika ini akan berkelanjutan.
          “dengan perlakuan lo yang seperti ini, jangan harap gue bakalan suka lagi sama lo” aku merasakan tubuhku tertarik, membuatku melepaskan gunting tersebut dan terjatuh diatas tubuh Kayla. Aku menatapnya tak percaya. Reno sudah kembali disisiku dan kini ia menarikku keluar dari rooftop sialan ini.
          Saat lift ini mulai berjalan, aku bersandar pada salah satu sudut, menutupi wajahku yang sudah tidak aku tahu seperti apa bentuknya. Aku sakit hati dengan perlakuan ini, aku tidak tahu jika ini karena Reno.
          “Maaf…” aku merasakan pelukan pada tubuhku ini. Reno, aku yakin ini adalah Reno. Namun ini bukan kesalahannya, justru ini kesalahanku, salahku sudah membuatnya berpisah dengan Kayla. Aku memang tidak tahu Reno benar-benar menyayangi Kayla atau tidak, yang aku tahu Kayla sangat menyayangi Reno.
          “Rapunzel lo gak akan hilang hanya karena rambut lo gak lagi panjang” Reno mengusap rambutku yang kini hanya sebatas bahu. Aku menggeleng dalam tangisanku, merutuki kebodohanku karena tidak menyadari bahwa rambut yang Kayla potong bisa sebanyak itu.
          “Tapi…”
          “Ssstt, sebelum rambut Rapunzel sepanjang lo, dia juga mengalami rambut sependek ini” aku merasakan tangan Reno makin mengusap lembut kepalaku, membuatku merasa tenang dan mulai memejamkan mata, menyadari mataku memberat akibat menangis yang cukup hebat ini.
          “semua yang kita mau memang tidak selamanya sejalan, selama lo berusaha untuk mencapai apa yang lo mau dan itu diiringi dengan usaha, semua akan tercapai. Jangan khawatir”
          “Tetap jadi Rapunzel gue dengan rambut ajaibnya, gue akan jadi saksi yang mengikuti pertumbuhan rambut emas ini, rambut yang diminati banyak orang, yang jadi rebutan orang, seperti tadi” makin lama mataku semakin berat, namun aku mendengar kekehan dari bibir Reno. Mungkin ia menertawakan ucapannya sendiri. Aku ingin tidur, apa salah jika aku tertidur disini, seberapa tinggi gedung hotel ini, kenapa terasa lama sampai di lobby?

          “gue sayang sama lo” aku terkejut namun mataku tak mampu terbuka, diiringi dentingan lift, aku merasa tubuhku terangkat ke udara dan Reno mulai melangkahkan kakinya, dan pandanganku benar-benar gelap.

Flash Fiction ini untuk mengikuti #TakeOffMyRedShoesGA yang diadakan oleh @NovelAddict_ dan @InayahSyar

Tuesday, September 1, 2015

Triple A [Anisa Rahma]

              Menjalani kehidupan yang berbeda, sebenarnya ini bukan masalah yang besar, namun bukan Ariana jika ia tidak menyusahkan dirinya sendiri dengan membesar-besarkan masalah. Namun ada juga yang terlihat santai, Adrina selalu berhasil membuat dirinya terlihat sangat tenang, meskipun sebenarnya ia sama tidak tenangnya dengan Ariana. Namun yang ini jauh berbeda, dia bahkan terlihat sangat gembira dengan kehidupan barunya yang menurut Ariana jauh tidak lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Anisa, gadis manis ini tidak pernah repot dengan sekelilingnya, semua dibawa santai, dan terbuktilah dia yang paling baik diantara kedua kakaknya. 
              Tiga gadis berwajah sama namun berbeda karakter, mungkinkah memiliki wajah sama mampu membuat mereka memiliki nasib sama? Mungkinkan mereka akan mendapatkan cinta sejati yang sama baiknya? Akankah kelainan sifat mereka membuat ketiganya mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang baru disekitarnya? 

***

              Yup-yup. Cerita ini benar-benar terinspirasi dari salah satu karya anak Directioner, tetapi sumpah deh gue gak jiplak haha. Cerita ini menceritakan 3 anak kembar, yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya dan terpaksa diungsikan ke rumah sahabat Ibunya yang berada di pedalaman, maksudnya tidak di kota besar. Mereka menolak mentah-mentah, namun mau tidak mau, mereka harus tetap menjalaninya.
              Harry, anak dari sahabat Ibunya memiliki sifat yang sangat ramah dan mudah bercanda, namun jika ia sudah berhadapan dengan Anisa, entah kenapa hanya ada tatapan tajam juga ucapan pedas untuk gadis manis itu. Anisa tidak tahu karena apa, yang pasti Harry selalu memberinya respon negatif.
              Berbeda dengan Harry, Zayn yang merupakan teman dekat Harry sangat teramat baik bahkan perhatian kepada Anisa, namun disisi itu, ia memiliki rasa kepada Ariana. Gadis urakan yang sangat menantangnya. Dan yes, Zayn suka tantangan.
              Lain Anisa, lain Ariana, Adrina perempuan tenang ini benar-benar memiliki hidup yang sangat tenang sampai seorang laki-laki asal Irlandia menganggu hidupnya, memang tidak secara terang-terangan, namun itu benar-benar berhasil membuat dunianya jungkir balik tidak karuan. Niall yang awalnya salah, malah disusul sama Adrina yang membuat kesalahan, dan jadilah saling salah. Bukannya saling minta maaf selesai, bukan Adrina namanya jika ia meminta maaf. Memang gadis ini terkesan urakan sama seperti Adrina, namun ia tidak separah Ari.
              Jadi apa yang sebenarnya terjadi, konflik apa yang akan aku angkat ke cerita ini? Hahaha, Katanya sih banyak yang nungguin cerita ini, tetapi gak tahu deh gak ada yang komen, masa.

***

Part 1

              "jadi kau yang tadi menggoda adikku?" Ad kembali berteriak tepat di depan wajah Zayn dengan nafas tersenggal saat merasakan Anisa yang makin mengumpat dibalik punggungnya. Bagaimana tidak marah, setelah menggoda Anisa, laki-laki ini hanya meminta maaf saja. Ya Tuhan.

              "Jadi dia bilang bahwa aku menggodanya?" Zayn mengangkat kedua alisnya kemudian menatap Anisa dengan senyum miringnya, membuat Anisa merapatkan lingkaran tangannya pada lengan Ad. 

              "Memegang tangan dan mengajaknya makan siang, apa itu yang kau sebut dengan tidak menggoda?" Ariana ingat bahwa laki-laki arab ini merupakan laki-laki yang ia temui di stasiun London tadi, yang sempat berselisih dengannya. 

-

              "Aku hanya salah bicara, lebih tepatnya aku salah paham dengan yang Anisa ucapkan. Anisa ya nama si bungsu itu?" Harry mengkerut saat Zayn tersenyum miring dengan pandangan melayang. Apa yang sedang dia pikirkan, sih? 

              "Ya. Kenapa?"

              "Manis, sepertinya aku tertarik. Doa sangat menggemaskan Harry..."

              "Hentikan dulu tangisannya, baru kau boleh mendekatinya!" 

              "kau ini, bertindak seperti kau kekasihnya saja, sih" Zayn mendengus sebal saat Harry melontarkan kalimat yang membuat Zayn berdecak berkali-kali. 

              "ku culik saja dia ke apartemenku" ujar Zayn asal, membuat Harry makin melotot padanya. Zayn ini. 

              "kau ingin mati ditanganku, arab?" 

              "ucapanmu mirip dengan si sulung menyebalkan. Dia juga mengancamku seperti itu, plus panggilan arab!" Harry makin melotot sedangkan Zayn hanya terkekeh mendengarnya. 

-

              "aku tidak mau disini, bersama si arab" zayn membulatkan matanya, sedangkan Harry ia malah tertawa kencang mendengar ucapan Anisa. Astaga, gadis itu kenapa se frontal itu, sih? 

              "aku tidak akan memakanmu, Anisa"

              "tetapi dia bilang akan menculikmu, Anisa" Anisa membulatkan matanya membuat Harry makin terkikik, sedangkan Ari dan Ad menatap Zayn dengan tatapan tajamnya. Harry sialan, gumam Zayn dalam hati. 

-

              Kurang lebih beberapa dialog pada part 1 Triple A, yang sudah di post di wattpad. Ada yang berminat baca, silahkan kesini ya...  https://www.wattpad.com/158522530-triple-a-1-zayn

Rikaaawan...

101 Perahu Kertas


Andaikan aku memiliki 101 pesawat kertas yang akan aku terbangi. Aku tidak berjanji bahwa aku akan mempersembahkan 101 pesawat kertas tersebut untukmu, tetapi akan ada 1 pesawat kertas yang akan aku tulis untukmu. Pesawat kertas itu akan aku terbangi, tidak kepadamu, tetapi semoga isi surat itu akan sampai padamu.
            Aku akan mempersembahkan pesawat kertas ke 101 itu untukmu, hanya untukmu, seseorang yang mungkin sangat teramat aku sayangi, tanpa bertatap wajah, aku mengetahui segalanya tentang, tetapi kamu tidak tahu aku, tentangku, wajahku, atau mungkin hanya sekedar namaku. Jadi seperti ini suratku, untukmu….
            Mungkin ini bisa dikatakan sebagai cinta dalam diam, cinta dalam hati yang mungkin tidak kamu ketahui isinya, yang mungkin kamu tidak mengetahui perasaanku. Jangankan perasaanku, untuk mengetahui siapa aku saja, aku rasa kamu tidak tertarik. Aku tahu aku memang tidak menarik, tetapi aku punya cinta untukmu, cinta yang bahkan tumbuh sebelum kita bertemu dan saling mengenal. Cinta yang aku rasakan sendirian, tanpa pernah kamu merasakan cintaku. Cinta yang aku perjuangkan, tanpa ada perjuangan darimu. Cinta yang sangat aku harapkan pembalasannya, sedangkan kamu sama sekali tidak berharap untuk membalasnya.
            Aku berfikir, bagaimana bisa aku menyukaimu hanya dengan bermodal nama lengkap, fotomu, dan beberapa kegiatanmu. Bagaimana bisa aku sebegini menyukaimu, padahal kamu sendiri tidak mengenalku. Aku tahu kau tidak akan menolak cinta ini,kau juga tidak akan membalas cinta ini. Tetapi aku cukup sadar, kau tahu bahwa aku 1 dari sekian banyaknya orang yang menyayangimu. Aku sangat teramat menyayangimu. Aku tidak perlu kau tahu seberapa aku menyayangimu bahkan mencintaimu. Aku tidak perlu kau tahu bahwa aku disini selalu ada untukmu, memperhatikan setiap gerak-gerikmu, dan selalu mendukung apapun yang kau lakukan.
            Aku tidak pernah merasa bersalah karena mencintaimu seperti ini, aku tidak pernah merasa menyesal telah mencintaimu. Karena aku sangat teramat ingin mencintaimu tanpa alasan, juga tanpa batas. Aku mencintaimu tulus dari dalam hatiku, hanya bermodal nama dan fotomu aku bisa sebegininya, lalu bagaimana jika aku bertemu denganmu, menjalani hari bersamamu, bahkan menerima perlakuan manismu?
            Aku tidak bisa meyakinkan jantung ini akan berhenti berdetak, karena aku yakin jantung ini akan berkerja lebih cepat tanpa pernah aku bayangkan. Someday, aku yakin bisa bertemu denganmu, menyapamu, kemudian kau mengetahui namaku, juga seberapa besar cintaku padamu. Dan saat aku bertemu denganmu, aku akan membawa pesawat kertas yang serupa dengan ini kemudian menyerahkan padamu, Harry. Ya, aku mencintaimu Harry Styles, One Direction. Laki-laki Inggris yang tidak aku ketahui kapan bisa aku temui. Aku menyukai, menyayangi, bahkan mencintaimu. All Love, R.


            Aku seorang Directioner, yang merambat menjadi perempuan dengan hobi menghayalkan Harry dalam setiap ceritaku, menuliskan kata demi kata yang ingin aku baca. Kalimat yang ingin aku dengar Harry menyebutkannya dan akan aku tuangkan dalam sebuah cerita. Ini konyol dan ya ini berlebihan. Maafkan aku.


Tulisanku kali ini untuk mengikuti giveaway yang di adakan @Loveableous dan @agnesdavonar. Thank you!:)