Sebuah bentuk apresiasi kepada lagu terbaru Felly Young yang berjudul Butuh Kasih Sayang.
Title :
BUTUH KASIH SAYANG
Cast :
1. Felly Young as Herself
2. Mario Kacang as Himself
3. Cherly Juno, Steffy Ai, Kezia Karamoy as Felly's Friends.
4. Harry Styles as Felly's senior.
5. Christy Chibi as Mario's partner
Genre :
Songfitct, romance, hurt.
Entahlah
sudah hampir beberapa bulan belakangan ini, Mario selalu mengacuhkanku,
sikapnya menjadi cuek dan tak peduli padaku. Aku tidak merasa punya salah,
kalaupun ada salah, dulu ia selalu mengatakan padaku, membuatku menjadi lebih
baik.
Tetapi
entahlah, sejak pekerjaannya menumpuk, Mario sangat cuek dan tidak lagi
perhatian padaku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, sambil menatap
teman-temanku yang kini sedang duduk dihadapanku bersama para kekasihnya.
“Mario
masih ada kerjaan?” aku mengangguk menanggapi perkataan Rafaell –kekasih Steffy
yang juga mengenal baik dengan Mario. Ya, aku dan ketiga temanku ini memang
selalu mempertemankan kekasih kami dengan kekasih yang lain dengan baik. Karena
bagiku, disaat pacar kita bisa hangout bareng
dengan teman itu sangat bahagia dan aku menyukainya.
“Entahlah.
Capek mikirin Mario.” Aku kembali menyeruput frapucinnoku. Mengabaikan tatapan prihatin dari keenam temanku
beserta kekasihnya.
“gue
masih bahagia selama ada kalian. Nggak perlu tatap gue kayak gitu.” Akhirnya
Cherly menghela nafas lega kemudian berpindah duduk disampingku, bangku yang
memang hanya untuk Mario.
“Lo
datang aja ke Kantornya, bawa Kue. Habisin waktu sama dia.” Aku menggeleng
kecil. Aku udah pernah mencoba hal ini, dan hasilnya tetap sama. Nihil. Mario
tetap cuek dan tak peduli padaku. Dimana letak salahku.
“Memang
sejak kapan Mario menomorduakan elo dibanding pekerjaannya, Fel?” Aku kembali
menggeleng mendengar perkataan Kezia. Aku tak ingin memperdalam masalah ini.
Lebih tepatnya aku tidak ingin teman-temanku yang sudah bahagia dengan
kekasihnya, malah menjadi ikut sedih karena masalahku.
“Sekarang
baru tanggal 5, lho” Aku menatap Rafaell dengan tatapan bingung. “Ya terus?”
“Kayaknya
belum telat deh buat dapetin quality time,
merayakan hari jadi kalian.” Aku menghela nafas panjang kemudian menggeleng
lagi. Sejak Mario berubah, semua saran yang disampaikan teman-temanku tak
pernah ada yang sejalan dengan fikiranku. Yang ada difikiranku, aku langsung
menyemprot Mario dengan mulut cerewetku ini, melontarkan rombongan pertanyaan
kenapa Mario berubah.
“Percaya.
Kalau lo datang dengan niat baik, semoga Mario bisa menyambut kedatangan lo
dengan kebaikan.” Kini aku mencoba menerima perkataan Cherly dengan baik. Aku
ingin sekali saja mengikuti saran mereka. Untuk kali ini mereka berbicara
serius.
“Sebentar,”
Kezia bangkit dari duduknya ditemani Yudha berjalan menuju kasir. Mengobrol
dengan kasirnya dan aku kembali menatap Steffy yang kini merangkul bahuku
sambil sesekalinya menepuk pundakku.
“Apapun
yang dia lakukan nanti, jangan terbawa emosi. Ingat, kalian itu sama-sama
sayang.”
“Sayang
banget, kalau kalian harus putus.” Steffy melotot pada Cherly yang kini malah
cengengesan, membuat aku kembali tersenyum pada tingkah sahabat-sahabatku. Aku
pun ikut merangkul bahu mereka dan memeluknya dengan erat.
“Nih,”
dihadapanku sudah ada sekotar cheese cake
didalamnya yang memang bagian atasnya sedikit dilapisi plastic bening. Aku
mengangkat kepalaku menatap Kezia dan juga Yudha. “Makasih ya,”
Aku
segera bangkit dari dudukku, memeluk kotak kuenya dan berpamitan pada semuanya,
sekaligus meminta do’a untuk kelancaranku yang masih bingung harus melakukan
apa untuk menarik perhatian Mario.
Melupakan
Mario pada kertas, pulpen, juga rangkaian katanya untuk sekejap saja. Aku ingin
Mario ada disisiku, memeluk bahuku saat aku lelah, memberikan sandaran saat aku
sedang sedih, dan bisa sama-sama bergandengan dan menghabisi waktu saat kami
dalam kesenangan.
***
Sudah
hampir 5 menit aku tiba di halaman parkir label musik yang menjadi kantor
Mario, kantor dan pekerjaan Mario yang membuat kekasihku itu melupakanku.
Katakan aku bodoh karena menyalahkan pekerjaannya. Namun aku sadar, Mario
memang membutuhkan pekerjaan, tetapi apa ia tak bisa memberika seperempat
waktunya saja untukku? AKu juga membutuhkannya.
Aku
masih terdiam, memikirkan kalimat apa yang akan aku lontarkan saat aku tiba
dihadapannya nanti. Aku mengetukkan jari-jariku pada kepala, memperintahkan
otakku untuk membuat rangkaian kata sebagai ucapan maaf karena sudah melupakan
hari jadi kami. Aku melupakannya, karena Mario juga tak mengucapkannya. Ya biar
saja.
Bukannya
balas dendam, aku hanya ingin Mario merasakan apa yang aku rasakan. Eh, balas
dendam ya namanya? Baiklah. Aku ingin balas dendam dengan Mario. Hampir
beberapa bulan belakangan, Mario tak pernah mengucapkan terlebih dahulu, selalu
aku yang memulai dan dia hanya membalas. Terimakasih.
See u soon. Tetapi Mario tak pernah menemuiku dan selalu aku yang
mengajaknya secara paksa. Tolong digaris bawahi. Secara paksa, jika aku tak
merengek dan hampir menangis, Mario tak akan mau makan siang atau sekedar jalan
di koridor Mall denganku. Tega, ‘kan?
“Mario,
aku minta maaf karena melupakan hari jadi kita. Aku nggak terlambat, ‘kan?” Aku
terdiam sebentar, memikirkan kembali apa kalimatku ini akan berdampak baik pada
kelanjutan hubungan kami. Takutnya, yang ada Mario akan marah jika aku
melupakan hari jadi kami. Tetapi bukankah Mario juga selalu lupa?
Sekali
lagi aku menjatuhkan kepalaku pada stir mobil, “terlalu mainstream kata-katanya.” Aku menunduk dan kembali berfikir,
membiarkan rambut panjangku menutupi sebagian wajahku. Ya ampun, mana pernah
aku sefrustasi ini hanya karena pacar cuekku? Iyalah, pacarku sebelumnya itu
selalu sayang dan memanjakkanku. Tetapi bagaimana dong, namanya juga cinta.
“Apapun
yang terjadi. Lo harus turun, Felly.” Ujarku meyakinkan diriku sendiri. Aku
meraih sling bag ku dan mencantelkan
pada bahuku, kemudian meraih kotak kue yang diberikan oleh Kezia dan Yudha. Tak
lupa aku mencabut kunci mobilku terlebih dahulu, baru aku membuka pintu.
“Membiarkan
dress selututku tertiup angin, karena tanganku yang kerepotan memeluk kotak kue
yang terbilang cukup besar. Ya, mungkin sekitar 50x50 cm. Selama rokku tidak
menyingkap keatas, aku rasa semua aman. Lagi pula aku menggunakan dress yang
bagian bawahnya memiliki banyak lapisan kok.
“Mbak
Felly, sudah lama tidak kesini.” Aku tersenyum saat menyadari Pak Ian –satpam kantor
Mario menyapaku dengan ramah. Bahkan Satpam saja sadar kalau aku sudah jarang
kesini, ya karena memang sebelum semua kekacauan itu terjadi aku sering sekali
kesini. Mengingat kekacauan itu, aku merasa sangat bersalah dengan Mario,
tetapi aku sudah meminta maaf ‘kan. Dan semua selesai.
“Marionya
ada, Pak?”
Pak
Ian mengangguk kemudian tersenyum ramah, membuat aku ikut tersenyum, saat
mengingat cerita Mario tentang Satpam berusia hampir 50 tahun ini. Menghidupi 3
orang anaknya juga 2 orang cucu. Ia bahkan sangat semangat bekerja, betapa
beruntungnya Istri Pak Ian.
“Ada,
Mbak. Sepertinya sedang ada artis yang bertemu dengan Mas Mario.” Aku terdiam
sebentar. Pantas saja, rupanya Mario sedang memiliki project dengan salah satu penyanyi. Aku memutuskan untuk meletakkan
kotak kue di atas meja satpam. Karena menurutku, masuk ke dalam ruangan Mario
disaat ia ada tamu, malah membuat Mario marah padaku.
“Artis
lama atau baru, Pak?”
“Sepertinya
Baru, tetapi dia sudah beberapa kali kesini.” Aku mengangguk paham kemudian
bersandar pada meja satpam yang sebatas dadaku.
“Mario
selalu sibuk ya, Pak?”
“Mbak
sama Masnya sedang bertengkar ya? Setiap datang, Pak Mario selalu dengan wajah
cueknya.” Aku mengkerutkan keningku. Apa Pak Ian sebegitu sadarnya dengan
kerenggangan kami?
“Bapak
kan punya 2 anak perempuan dan 1 laki-laki. Bapak tahu pasti, bagaimana anak
muda galau karena pacarnya.” Kini aku malah tersenyum sambil tertawa kecil,
melihat Pak Ian yang malah menggodaku.
“PAK
SATPAM!” aku mendengar seorang perempuan dari dalam kantor meneriaki Pak Ian
dengan kencang, membuat aku menoleh begitupun Pak Ian. “Sebentar ya, Pak.” Aku
mengangguk dan menatap Pak Ian dengan perempuan itu dari depan. Tak dapat
mendengar pembicaraan mereka, namun aku bisa melihat perempuan itu mulai tak
sopan dengan Pak Ian.
“Mbak,
tolong urus bapaknya nih.” Teriak perempuan itu dan kembali berjalan ke luar
kantor dengan tas louis vuittonnya.
Aku mengkerut saat aku sadar ia berteriak padaku, ya karena memang disini tidak
ada perempuan selain aku.
“Mas
Jono, tolong Pak Iannya.” Satpam lainnya yang aku ketahui bernama Jono pun
menghampiri Pak Ian yang kini menunduk.
“Ada
apa, Pak?”
“Hanya
salah paham kecil, Mbak. Itu Mbaknya sudah pergi, silahkan bertemu Mas Mario.” Aku
tersenyum kecil, jadi penyanyi baru macam ini yang menarik perhatian Mario
hingga melupakanku? Perempuan tidak sopan.
Dengan
perlahan aku berjalan ke dalam, sembari berjalan mataku ini tak ada
henti-hentinya memperhatikan sofa-sofa yang tersedia juga beberapa pajangan dan
ada sebuah meja yang khusus diisi awards yang
diraih para artis yang sedang terlibat kontrak dengan label musik tempat Mario
bekerja ini.
Tok. Tok. Tok. Tok.
Aku menghentikan
langkahku kala mendengar suara sepatu menyapa lobi kantor dan berjalan dengan
cepat, dan aku siap menoleh untuk melihat kekacauan sepatu heelsnya.
Bruk.
Aku merasakan nyeri
pada punggungku, kepalaku terasa sedikit pusing saat tubuhku terhempas
kelantai. Melupakan sosok kotak kue yang sedari tadi aku jaga. Aku mengerjapkan
mataku kemudian bangkit dari posisiku sebelumnya, menatap perempuan yang
menjadi partner kerja Mario ini
menatapku dengan tajam.
“Kalau
berhenti jangan mendadak!” bentaknya padaku. Aku mengkerut, mencoba berfikir,
siapa yang sebenarnya bersalah disini? Aku mengusap kepala bagian belakangku,
menyadari rambutku berantakan, aku segera merapihkan rambutku dengan jari.
“Astaga,
kue gue.” Pekikku langsung menunduk dan meraih kotak kuenya. Membuka penutup
kotak tersebut dan mengeceknya. Ya ampun, krimnya bececeran kemana-mena, tak
berbentuk, parutan kejunya jatuh ke bawah semua. Ya ampun, Mario maaf.
“Jangan
nyalahin gue, ini salah lo.”
“Kalau
lo gak bikin kegaduhan, gue nggak akan berhenti!” teriakku tak mau kalah. Jika
diingat alasanku berhenti, karena bunyi heelsnya
kan?
“Kue
gue gimana ini?”
“Emang
gue pikirin.” Perempuan itu menata rambutnya yang tidak berantakan sama sekali,
membuatku memutar bola mata dengan kesal. Berapa umur perempuan ini, sudah
seperti tante-tante saja. Make-up juga
tebal sekali, kalah aku.
Aku menghela
nafas panjang kemudian menatapnya dengan tatapan tajamku, memperintahkan
perempuan tidak tahu diri ini mengganti kue ku. Jika tidak ada kue ini, apa
yang harus aku jadikan alasan agar bisa bertemu Mario?
“Kak
Mario…” aku mengkerut saat perempuan itu berjalan ke arahku, tepat pada orang
dibelakangku. Mendengar namanya aku segera menoleh. Bahkan memanggil Mario
dengan panggilan Kakak, itu artinya dia jauh lebih muda dari Mario, tetapi
berdanda seperti tantenya Mario saja. Hih.
“Ada
apa Felly?” aku mendesah melihat Mario yang tidak menoleh saat perempuan tidak
dikenal itu bergelayut pada lengannya.
“Kakak
kenal perempuan ceroboh ini?” Aku menundukkan kepalaku, seolah tatapan Mario
benar-benar mematikanku, menghancurkan keberanianku, menciutkan nyaliku. Aku
menatap sekilas cheese cake yang
sudah hancur dan kembali menutupnya.
“Tadinya
aku ingin ketemu kamu, tetapi cheese cake
yang aku bawa jatuh ke lantai. Jadi aku pulang ya.” Aku membalikan badanku dan
berjalan menjauhi Mario dan perempuan yang tidak aku kenal itu.
“Felly.”
Aku menghentikan langkahku kala Mario memanggil namaku. Tak perlu menoleh aku
akan dapat mendengarkan perkataan Mario. “Hati-hati, ya.” dan saat itu air
mataku turun membasahi pipiku, membuat aku menunduk dan kembali berjalan menuju
mobilku.
***
“Nggak
berhasil?” aku mengangguk kemudian kembali memeluk bantalku. Menundukkan
kepalaku, tak ingin menatap teman-temanku yang kini kembali menatapku sambil
memasangkan wajah kasihannya. Memang tak bisa dipungkiri, diriku sendiri juga
merasa kasihan padaku. Betapa bodohnya aku.
“Benar-benar
nggak ada yang bisa diharapan lagi. Gue benar-benar harus ambil keputusan.” Kataku
membuat semua kembali menatapku, sampai Kezia mengalihkan pandangannya dari
ponsel.
“Kalau
dia aja nggak ada niat ngobrol setelah insiden di kantornya, untuk apa gue
pertahanin?” Iya gak sih, ngapai aku sibuk-sibuk mikirkn kelanjutan hubungan
kita kalau Marionya saja seolah tak peduli padaku. Tak ada niat meminta maaf,
atau mengganti kueku, atau hanya sekedar menjelaskan perempuan tidak tahu diri
ini.
“kakak kenal perempuan ceroboh ini?” Hatiku
terasa nyeri kala mengingat perkataan permepuan itu. Bahkan ia baru bertemu aku
sekali, dan bisa menyimpulkan bahwa aku adalah seseorang yang ceroboh. Memang,
bahkan Mario berkata seperti itu. Namun inilah aku, kamu harus mencintai
kekurangan juga kelebihanku.
“Masih
ada jalan lain, Felly. Pikirin matang-matang.” Aku menatap tajam pada Kezia,
membuat Kezia bangkit dari duduknya dan menghampiriku.
“Untuk
apa gue capek-capek mikirin, Kez. Bahkan kayaknya Mario nggak pernah mikirin
kelanjutan hubungan kita.”
“Semua
bisa diomongin baik-baik.” Kini aku melotot tajam pada Steffy. “Setelah semua
yang gue lakuin, dia gak ada niat ngobrol sama gue. Gimana bisa diomongin?”
“Iya
tenang. Gue bakal ngomong baik-baik sama Mario.”
“Nggak
perlu, kalian gak perlu ikut campur.” Kini semua mata menatapku tak percaya.
Bukan, bukan itu maksudku.
“Maksud
gue, gue nggak mau Mario berfikir kalau gue masih kekanak-kanakan dan meminta
bantuan kalian. Gue bisa nyelesain masalah ini sendiri.” Aku mendengar Cherly
menghela nafasnya kemudian mengelus pundakku.
“Kita
percaya sama lo. Buang emosi lo, tunjukin lo bisa.”
***
Setelah
mendapatkan update-an terbaru dari
Mario melalui akun pathnya. Akhirnya
aku memutuskan untuk datang kesana, membuat janji pada teman lamaku disana.
Setidaknya aku ingin membuat Mario merasakan apa yang aku rasakan kemarin, saat
menatap bahwa lengan itu bukanlah milikku, lengan itu bisa direngkuh oleh
siapapun. Jelas saja aku merasa cemburu, aku merasa tidak diinginkan.
“Nggak jauh dari rumah, mungkin 30 menit gue
sampe.” Setelah Harry mengucapkan kalimat tersebut. Aku pun bersiap-siap
dan berjalan ke halaman rumah, mengeluarkan mobilku dari garasi dan segera
melesat menuju kafe yang menjadi tujuanku saat ini. Kafe yang digunakan Mario dan
teman-teman sekantornya untuk merayakan peluncuran album terbaru perempuan
tidak tahu diri itu.
Aku
tersenyum lebar, saat masuk ke dalam parkiran kafe ini, aku dapat melihat mobil
hitam Mario yang terparkir sempurna disana. Hm, sudah berapa lama aku tidak
duduk disampingnya?
Kring.
Setelah aku ikut
parkir dengan sempurna disamping mobil avanza putih, aku pun meraih ponselku.
Menjawab panggilan dari Harry. “Ya Harr?”
“gue udah sampe. Meja nomor 8. Paling ujung.
Disini ramai banget, takutnya lo gak nemu.” Aku tersenyum lebar kala
mendengar perkataannya. Jadi aku akan duduk dekat dengan acaranya Mario? Harry
pintar sekali.
“Ada Mario juga.” Aku mendengar suara
Harry sedikit berbisik, membuat aku makin melebarkan senyumanku dan segera
keluar dari mobil.
“Gue
jalan kesana. Sekarang.”
Setelah
sampai di depan pintu kafe ini, aku memang melihat sebuah spanduk dengan
tulisan “Christy Saura release new album”
Aku tersenyum miring. Oh jadi nama perempuan kemarin itu Christy. Duh, Mario
kamu ketemu perempuan macam ini dimana sih.
“Atas
nama siapa, Mbak?” seorang penjaga receptionist
bertanya padaku, membuat aku terdiam sebentar kemudian menyebutkan nama
Harry. Akhirnya Orang tersebut mengantarku menuju meja Harry, melewati
kerumunan Mario dan kawan-kawannya. Aku sengaja tak menatap kesana, aku tak
ingin jika tertangkap menjadi pihak yang bersalah. Aku tidak ingin Mario tahu
bahwa aku tahu ia ada disini.
“long time no see..” aku menggapai
pelukan Harry. Kakak kelasku sejak SMA yang aku taksir besar-besar, kini sudah
menikah dan memiliki bayi mungil. Aku tersenyum saat mendapatkan kabar darinya
sekitar 2 tahun yang lalu. Aku juga mengenal baik istri Harry yang juga
merupakan kakak kelasku saat itu. Dan sejak dulu, Harry tak mengizinkanku
memanggilnya dengan embel-embel kakak.
“Kakak
apa kabar?” tanyaku. Aku pun memulai basa-basiku, menceritakan ulang masa-masa
SMA kita. Harry juga menceritakan tentang proses persalinan istrinya,
menceritakan juga kala mereka memperebutkan nama untuk anak perempuannya.
Seolah terbawa suasana, aku ikut memikirkan itu, kala aku bertengkar dengan
Mario soal nama anak kami, siapa yang kira-kira akan mengalah.
“Bahkan
soal jenis kelamin saja, kami ribut. Marsha ingin laki-laki, sedangkan aku
perempuan. Well, kamu tahu
pemenangnya kan.” Aku kembali tertawa dan kembali membayangkan bahwa aku juga
menginginkan anak laki-laki sebagai anak pertamaku dengan Mario nanti. Ya ampun
Felly, bahkan hubungan kalian tidak jelas, bagaimana bisa kamu berfikir akan
memiliki anak dengannya?
“Aku
ke toilet sebentar, kak. Nanti sambung lagi.” Setelah mendapat persetujuan dari
Harry, aku pun berjalan meninggalkan meja kami, kembali melewati meja Mario
namun aku berlagak sibuk dengan rambut panjangku. Tak menatap ke arah sana sama
sekali.
Setelah
selesai dengan urusanku di toilet, aku pun kembali berjalan menuju meja Harry.
Lagi-lagi tak menatap kea rah Mario. Aku segera duduk di hadapan Harry. Kini
Harry mendekatkan dirinya padaku sambil menyodorkan ponselnya. “lihatlah anak
gadisku.” Mendengar perkataannya sontak aku mendekatkan dirinya, menatap layar
ponselnya yang malah menunjukan wallpaper
ponselnya.
“tadi
Mario kesini, nanya gue siapa. Gue jawab aja, temen lama lo.” Aku langsung
tersentak dan menjauhkan kepalaku. Namun Harry kembali menarik pundakku.
“Dia
memperhatikan dari sini.” Felly pun kembali terdiam disamping Harry sambil
terus memperhatikan wallpaper ponsel
Harry yang terpampang fotonya dengan Kak Marsha. Halah. Bikin orang gondok aja.
“terus
dia jawab apa?”
“lo
keburu balik, dia langsung pergi.” Aku menghela nafas, padahal aku ingin
mendengar tanggapannya tentang usahaku kali ini. Aku ingin tahu apa yang ada
difikrian Mario saat aku bersama laki-laki lain. Berhasilkah usahaku kali ini? Mengetahui
alasan Mario bersikap tak peduli padaku?
Aku
merasa Harry makin mendekati telingaku, aku memang sudah menceritakan keluhanku
pada Mario. Memang tak menguntungkan sih, namun ia siap membantuku. Ia sudah
menganggapku sebagai adiknya. “dia kesini, Fell.” Aku merasa jantungku berhenti
berdetak, karena tiba-tiba…
“Felly..”
aku membeku ditempat, saat mendengar suara yang sudah lama tidak aku dengar
memanggilku dengan lembut, kembali berucap. Bukannya aku merasa senang, aku
merasa takut. Seolah planning ku
sejak lama yang ingin membuat Mario marah malah berganti, kekhawatiranku
berubah menjadi takut diputusin.
“Siapa
laki-laki ini?” tanya Mario dengan nada tertahannya. Seperti sudah mengerti
tentangnya, aku tahu ia sedang menahan marahnya. Ia tak peduli lagi pada
sekelilingnya, pada Christy yang disana menatapnya bingung.
“Kalau
mau kemana-mana aku udah bilang harus kabarin aku. Kamu kok nggak ngerti sih.” Aku
tersenyum dalam hati, melihat Mario kini marah dihadapanku, mengucapkan kalimat
dengan panjang. Ya, aku suka Mario yang seperti ini. Aku butuh ia sadar dengan
kehadiranku, menganggap penting diriku, dan selalu ingin didekatku, seperti
aku.
“Sudah
bosan diperhatiin, Hm?”
Aku
menggeram. Bosan diperhatiin, apa dia tidak salah bicara. “Diperhatiin siapa
maksud kamu? Diperhatiin Harry, kah? Bahkan kamu nggak pernah kasih aku
perhatian, Mario. Kamu berubah.” Aku ikut tersulut emosi, seolah perkataannya
tadi, membuat aku salah dimata orang yang menatap kami. Padahal sebenarnya
dialah yang salah disini.
“Jadinya
namanya Harry? Siapa Harry ini, selingkuhan kamu, atau pacar kamu?”
Plak.
“MARIO!” Aku menoleh
ke belakang Mario, menatap Christy yang berusaha menghampirinya. Namun aku
langsung membuka lebar tanganku. “jangan mendekat!” Aku kembali menatap Mario yang
masih sibuk memegangi pipinya yang aku tampar. Bagaimana bisa ia terfikir bahwa
Harry ada selingkuhanku.
“Kita
bicarain ditempat lain!” Mario menarik kasar lenganku, membuat aku menepisnya
namun gagal, ia lebih kuat. Kalian harus tahu, laki-laki selalu menang dalam
masalah tenaga.
“Jangan
kasar, bro. pelan-pelan.”
“Diem
lo. Ini cewek gue!” Mario kembali menarik tanganku. Rasa sakit pada pergelangan
tanganku seolah tak terasa kala Mario mengakui sebagai kekasihnya dihadapan
banyak orang, dihadapan Harry juga beberapa teman kerjanya. Aku bahagia, namun
bukan seperti ini.
“Kalau
lo selingkuhan Felly, gue akan ngebisin lo disini.” Mario menghempaskan
tanganku dan siap memukul Harry, jika saja suara perempuan tidak menyapanya.
“Sayang…”
Semua fokus berpindah pada gadis dengan seorang bayi dalam gendongannya. Harry
tersenyum lebar. “gue murni temenan sama Felly. Gue udah punya istri. Selesain
masalah lo.” Tanpa berfikir panjang, Mario menari tanganku, membawaku meninggalkan
kafe, dan masuk ke dalam mobil.
Aku
melihat Mario mengeluarkan ponselnya, “aku bawa mo–“
“Pak
Ian, tolong Mobil Felly di Kafe jl. Sudirman. Kuncinya ada di laci meja kerja
saya pak.” Setelah diam dengan ponselnya. Mario menutup teleponnya dan kembali
menatapku.
“kita
omongin di apartemenku. Tenangin diri kamu.” Mobil Mario pun mulai berjalan
meninggalkan halaman parkir. Aku disuruh nenangin diri katanya? Yang ada dia
nenagin diri.
****
Setelah
kami berdua tiba di ruang tamu apartemen Mario, dengan sopan Mario menyuruhku
duduk di sofanya. Dan dengan patuh, aku menuruti perkataannya. Mataku jelas
masih memerah, perjalan dari kafe ke apartemen Mario tak berhasil menenangkan
diriku.
“aku
minta maaf.” Aku mendongakan kepalaku, tak menyangka Mario akan menyadari
kesalahannya. Aku menatapnya dengan senang, berharap ini awal yang baik untuk
hubungan kita.
“Aku
sadar hampir 6 bulan ini aku cuekin kamu. Aku sadar aku salah, makanya sekarang
aku minta maaf.” Mataku mulai kembali memerah kala aku mendapatkan perkataan
maaf yang aku tunggu-tunggu sejak lama.
“aku
seperti ini hanya karena aku takut kamu tidak serius dengan hubungan kita,
mengingat kejadian 6 bulan yang lalu, aku berfikir ini terlalu main-main.” Aku membeku
ditempat. Menyadari bahwa masa laluku benar-benar membawa dampak buruk bagi
hubunganku dengan Mario.
“aku
minta maaf..” kini aku yang membuka suara. Mario masih berdiri didepan meja
ruang tamu, menatapku yang kini mendongak dengan mata berkaca-kaca.
“sejak
6 bulan yang lalu, aku selalu berfikir bahwa laki-laki yang bersama kamu adalah
selingkuhan atau pacar kamu. Malah aku berfikir bahwa kamu menduakan bahkan
lebih dari itu” aku melotot mendengar perkataannya.
“kamu
fikir kau cewek murahan?”
“iya-iya
maaf, aku minta maaf sudah berfikir seperti itu, sungguh aku gak maksud
mengatakan hal seperti itu.” Aku terdiam. Seolah tak ingin membuka lama, aku
tak ingin membahas masa lalu.
“Meskipun
jelas-jelas saat kamu tertangkap selingkuh, kamu memilih aku, aku merasa tidak
cukup, aku takut kamu mengulanginya lagi.” Aku terdiam. Sebegitu pengaruhnya
kamu, Mario?
“Mario
dengarkan aku, saat aku sudah pilih kamu, ya akan hanya ada kamu.”
Mario
mengangguk paham, “begitupun aku. Saat aku merasa yakin sama kamu. Setahun yang
lalu aku menyatakan perasaanku, bukan hanya sekedar menyatakan, aku benar-benar
memilih kamu, bukan sekedar menjadi kekasihku, tetapi calon istriku.” Aku dibuat
mematung dengan perkataannya. Jadi Mario juga berfikir sejauh ini.
“Maka
dari itu aku nggak mau main-main. Aku benar-benar mau jaga kamu.”
“terus
kenapa kamu cuekkin aku? Aku itu butuh kamu disamping aku, aku butuh bahu kamu,
aku butuh semangat aku saat aku sedang sedih. Kemana kamu saat itu, kenapa kamu
malah nggak peduli sama aku.” Mengingat inti permasalahanku, aku
mengutarakannya dengan air mata berlinang. Air mata bahagia juga air mata
kesakitan.
“Aku
minta maaf, aku tahu beberapa hal yang kamu lakukan untuk menarik perhatianku. Tetapi
kembali ke awal, aku takut kamu menganggap ini semua main-main.”
“bahkan
kamu gak berniat memberitahu aku siapa perempuan yang bergelayut saat aku ke
kantor kamu beberapa hari yang lalu.” Mario terlihat terdiam kemudian mulai
mendekatiku dan duduk disampingku.
“Itu
artis baru yang sedang terlibat kontrak. Kamu tahu aku soal pekerjaan. Aku
butuh dia, Felly.” Aku terdiam. Aku sudah tahu itu, bahkan aku sudah membaca
spanduknya didepan kafe.
“aku
minta maaf karena sikapku yang seolah tak peduli dengan apapun yang kamu
lakukan. Aku nggak suka saat kamu pakai rok terlalu pendek, dan kamu mengunggah
ke instagram, aku nggak suka saat aku tahu kamu pergi dengan teman-temanmu juga
para pacarnya tetapi kamu nggak ngajak aku. Aku nggak suka saat kamu menyebrang
di depan kantor aku tanpa satpam, kamu bisa celaka Felly.” Aku terdiam. Jadi
dia tahu semua yang aku lakukan untuk menarik perhatiannya? Jadi dia tahu
semuanya?
Bukannya
merasa senang, aku justru merasa sakit hati dengan perlakuannya. “Terus kenapa
kamu diam aja!” aku membentak Mario, membuat Mario menundukan kepalanya
kemudian meraih kepalaku pada dekapannya, membuat aku terdiam dan hampir
terlena. Namun dengan cepat aku mendorong dirinya.
“Aku
butuh waktu untuk meyakinkan diriku, dan saat aku lihat kamu sama laki-lai dan
menempel seperti itu, aku merasa sangat marah, dan akhirnya aku menghampiri
kamu. Jangan salahkan aku, salahkan cintaku yang terlalu besar” aku kembali
meneteskan air mataku dihadapannya. Menyadari betapa besar ia mencintaiku namun
dengan cara yang salah.
“Aku
benar-benar serius sama kamu, Felly. Waktu enam bulan sudah cukup bagiku, dan
aku yakin dengan keputusanku.” Ia menarik nafas panjang kemudian sedikit
memiringkan tubuhnya agar lebih tepat menatap padaku.
“Apa
kamu mau menikah denganku?” aku terdiam. Menyerap kata-kata yang baru saja
keluar dari mulutnya. Aku terharu dengan perkataannya, pernyataannya.
Mario
meraih tanganku dan tangan yang bebas meraih sesuatu dibawah meja ruang
tamunya. “aku berniat besok akan meminta maaf, tetapi ternyata takdir berkata
lain.” Cincin yang baru saja ia ambil, disematkan dijari manisku, membuat aku
tersenyum namun tetap saja air mata menetes.
“Mario…”
aku ambruk dalam pelukannya, memeluk erat punggungnya dan menenggelamkan
wajahku pada dadanya. Aku sangat menyayangi laki-laki ini. Aku tidak tahu jika
Mario seserius ini dengannya. Ya tuhan, maaf untuk perlakuanku dulu, perlakuan
yang membuat kekasihku merasa trauma dengan pacarnya sendiri.
“pipi
kamu sakit ya?” tanganku bergerak mengelus pipinya yang aku tampar saat di
kafe. Dia tersenyum kecil kemudian mengusap kepalaku.
“Sembuhin
dong,” aku bangkit dari dudukku, berniat mencari handuk dan air hangat untuk
mengompres memar dipipinya, apa sesakit ini?
“mau
kemana?”
“nyari
air hangat dan handuk kecil.”
“cium
aja, aku sembuhku” aku langsung memukul lengannya saat menyadari perkataannya.
Ia malah tersenyum dan terus menghindari pukulanku pada lengannya. Bahkan kami
sampai bekejar-kejaran di ruang tamu Mario. Aku benar-benar bahagia saat ini,
bisa kembali menatap senyumnya, tawanya, dan aku sangat mencintainya.
Mario
menghentikan langkahnya dan memelukku dengan erat, menyalurkan perasaan rindu
kami yang hampir enam bulan tak pernah seintim ini. Aku bersyukur karena
kesalah pahaman ini sudah selesai, aku bersyukur karena aku akan kembali
bahagia bersama Mario.
“sorry, and I love you” aku tersenyum dan
segera mengecup pipinya dan kembali melarikan diri, membuat keadaan berputar,
karena kini Mariolah yang mengejarku dan saat tertangkap ia tak melepaskanku
dan kembali memelukku. “I love you too,
my prince.”
“and I miss you, btw.”
Btw, Kalau mau baca lebih komplit, bisa cek ke wattpad aja ya. Ada beberapa bagian yang disini gak ada.